Manusia sebagai makhluk sosial memiliki keinginan untuk
berinteraksi, berkomunikasi,
bertukar ide dan gagasan. Interaksi bertujuan untuk menciptakan hal-hal tersebut. Dalam melakukan interaksi dan komunikasi manusia
melakukan transfer pesan yang berisi hal tertentu. Era teknologi mengantarkan manusia sebagai
generasi modern. Hal
ini ditandai dengan teknologi komunikasi dan informasi yang telah
berkembang. Era ini
telah melahirkan internet yang membawa fenomena baru di bidang media komunikasi massa.
Internet atau interconnection-networking
merupakan seluruh jaringan computer yang saling terhubung menggunakan standar
system global Transmission Control Protocol/Internet Protocol Suite (TCP/IP)
sebagai protocol pertukaran paket untuk melayani miliaran pengguna di seluruh
dunia. (http://id.m.wikipedia.org/wiki/ internet). Revolusi baru dari media massa yang terbingkai
dalam internet berkelanjutan dengan lahirnya media sosial.
Media Sosial
Media sosial adalah sebuah media online, dimana para pengguna dapat dengan mudah berpartisipasi,
berbagi, mengirim dan memperoleh pesan secara
cepat. Jenis
media
social yang paling umum digunakan
oleh
masyarakat di seluruh dunia adalah facebook, twitter, dan sebagainya.
Perkembangan jejaring
sosial itu dari tahun ke tahun terus meningkat. Hal ini menjadikan media
sosial unggul dibandingkan media lainnya,
seperti
koran, majalah, radio, televisi, dan lain sebagainya khususnya dalam hal penyebaran berita dan informasi. Penyampaian opini publik oleh masyarakat saat ini
seringkali melalui media sosial, terutama sasarannya adalah anak-anak muda
pengguna media sosial.
Begitu besarnya antusias
masyarakat dalam mencerna isu-isu yang berkembang menjadikan media sosial terutama
twitter dan facebook manjadi pilihan sebagai medium untuk menyalurkan
aspirasinya. Hal ini dibuktikan
dengan banyaknya kicauan pengguan twitter disetiap harinya.
Perkembangan
teknologi dan alat komunikasi berupa handphone yang berbasis Android menjadi
pendukung kemudahan dalam mengakses media sosial. Seiring berkembangnya
handphone pintar ini yang hampir dimiliki setiap pelajar dan mahasiswa dan
lainnya menambah intensitas akses ke media social. Semakin banyaknya yang
mengakses media ini, maka media sosial tumbuh dan berkembang pesat dan kini
untuk mengakses facebook atau twitter misalnya, bisa dilakukan dimana saja dan
kapan saja hanya dengan menggunakan sebuah hand phone. Semua ekspresi yang kita
alami bisa langsung dituangkan seketika itu juga dengan membuka akses internet.
Semakin banyak dan seringnya orang mengakses media online ini maka
semakin banyak para komunikator yang mempunyai kepentingan tertentu untuk
menarik khalayak lewat media ini yang banyak diakses anak muda. Dalam hal
politik, komunikator politik mampu memainkan momen ini untuk membentuk opini
publik melalui media sosial ini, misalnya kampanye lewat facebook atau twitter.
Nah disinilah sedikit demi sedikit opini publik dibangun. Bukan hanya mengenai
politik, untuk menciptakan opini publik terhadap produk-produk tertentu yang
orientasinya bisnis dapat dilaukan lewat media sosial. Termasuk dalam transfer
berbagai style artis dunia yang menjadi inspirasi masyarakat Indonesia terutama
anak muda. Dari mulai gaya rambut artis Hollywood, kulit artis Korea, lagu dan
Film korea, dan lain sebagainya. Masyarakat dengan mudahnya mengakse lewat
media ini yang kemudian di tiru tanpa melihat cocok tidaknya dengan kepribadian
bangsa Indonesia. Asal tidak melanggar norma di masyarakat semua secara besar-besaran
dapat di terima dan ditiru begitu saja biar terlihat keren mungkin. Ini lah salah satu yang mengikis rasa kebangsaan.
#Hastag
Saat
ini dengan hanya bermodalkan update status di media sosial seperti twitter,
kita bisa ikut menggerakkan opini publik atau menggalang solidaritas sosial.
Atau sekedar ikut share kritikan terhadap komunikator politik yang sedikit
banyak mendukung pembentukan opini publik.
Penggunaan
hastag (#) dalam twitter juga mendukung pembentukan opini publik. Terkadang
ketika kita membuka laman di twitter, ditemukan barisan kata yang menjadi
trending topik diawali dengan tanda (#). Contoh #SaveKPK. Ketika masyarakat
pengguna media online ini penasaran dan mengklik barisan kata yang menjadi link
tersebut maka kita akan mendapatkan daftar informasi terkait dengan hastag
#SaveKPK. Mau tidak mau karena kita terlanjur tertarik, maka kita akan membaca
barisan barisan tweet yang dikirim oleh orang-orang tersebut. Hal ini akan
menimbulkan opini kita sebagai masyarakat pembaca. Kalau sudah seperti ini kita
biasanya akan tergerak dan ikut melakukan hal yang sama, yaitu membuat tweet
dengan hastag yang sama, yaitu #SaveKPK. Ini sebagai efek atas olah informasi
yang kita peroleh tadi dari beberapa tweet yang berhastag #SaveKPK karena hati
kita juga tergerak untuk mendukung KPK berdasarkan informasi yang diperoleh.
Inilah yang dimaksud media sosial juga dapat membangun opini publik. Lama
kelamaan kita asyik dalam penggunaan hastag yang mana semakin banyak hastag
yang sama, akan berpotensi menjadi trending topik. Ketika sudah menjadi
trending topic, maka hal yang sama akan dilakukan orang lain dalam masyarakat
luas dimanapun yang mencari hastag yang sama, dan membaca tweet yang kita post
kan.
Keberhasilan
presiden Joko Widodo dalam memenangkan Pilpres 2014 lalu yang menjadi salah
satu faktor pendukungnya adalah media sosial. Akun kampanye Jokowi mampu
membius masyarakat pengguna media sosial dengan berbagai slogan kampanye-nya.
“Salam Dua Jari” begitu lekat teringat sangat intensif muncul di twitter pada
saat itu, sehingga masyarakat luas penguna twitter mengakses secara
besar-besaran dan “ikut-ikutan” mendukung dengan menambah hastag yang sama
dalam tweetnya. Slogan lain seperti #RevolusiMental juga selain membangun
kepercayaan masyarakat terhadap Jokowi yang mencalonkan presiden kala itu, juga
mampu menumbuhkan gerakan-gerakan sosial yang secara independent mendukung
pasangan capres ini, dari mulai seniman, tokoh nasional, artis ibukota.
Revolusi Mental yang digaung-gaungkan pada saat itu mendapat perhatian
tersendiri dihati masyarakat. Terlepas dari paham masyarakat mengenai Revolusi
Mental dan salam dua jari, masyarakat dengan senangnya memutar lagu salam dua
jari yang dinyanyikan Slank. Kita tahu Slank adalah band papan atas negri ini
yang tidak usah ditanyakan lagi jumlah fansnya darimulai remaja hingga yang
tua. Fansnya tersebut sebagian pasti mengikuti apa yang dilakukan idolanya di
twitter. Ikutlah mereka mendukung dukungan idolanya. Semua ini tersaji di media
social dan diikuti oleh banyak masyarakat. Ketertarikan masyarakat untuk
mendukung ini difaktori salah satunya adalah objek pendukung tadi, yaitu artis,
seniman, dan tokoh nasional yang dikenal baik oleh masyarakat.
Akhirnya
Jokowi dan #RevolusiMental-nya berhasil membangun opini publik dan berhasil
menggerakan hati masyarakat secara langsung maupun tidak langsung untuk
mendukungnya. Kesuksesan ini bukan kali ini terjadi. Di perihal yang sama,
pencalonan presiden, Barrack Obama juga
pernah mendapat dukungan besar-besaran oleh facebooker pada saat itu. Ia
dan tim kampanye-nya mampu menggerakan opini publik melalui facebook.
Propaganda di Media Sosial
Namun
tidak sedikit juga kampanye hitam terjadi melalui media sosial. Banyak sekali
fanspage-fanspage dalam Facebook yang mempropaganda berisi pesan
menjelek-jelekkan satu komunikator tertentu. Selain masalah pemilihan presiden
dan segenap perpolitikan yang terbingkai dalam media social, konflik antar
agama pun kerap kali terjadi melalui media sosial. Dengan berkedok debat sehat
di grup facebook, namun siapapun ketika sudah berbicara masalah agama maka akan
mudah tersulut emosi. Opini publik terhadap agama tertentu terjadi jika banyak
pengguna menyudutkan kesalahan-kesalahan agama lain. Media sosial yang bersifat
bebas memudahkan para akun-akun palsu bermunculan yang bertujuan untuk
mempropaganda masyarakat dalam agama tertentu. Alhasil debat-debat di kolom
komentar grup memperpanjang dan dapat merusak toleransi antar agama dalam
masyarakat Indonesia.
Masyarakat yang Melek Media
Kalau
sudah seperti ini sepatutnya kita menjadi masyarakat yang cerdas, masyarakat
yang mampu menyerap informasi, masyarakat yang memfilteri dirinya terhadap
informasi-informasi di timeline media sosialnya. Dan kembali kepada fungsi
utama dari media sosial itu sendiri yaitu untuk saling mengenal dan
berinteraksi satu sama lain serta berbagi informasi bermanfaat dalam masyarakat
luas untuk menumbuhkan rasa toleransi. Bukan untuk bercerai-berai “angkat
senjata”. Semua itu akan terwujud jika kita memiliki kesadaran kritis,
kesadaran yang mampu memahami keadaan, mampu memperhatikan positif negative
media sosial agar kita tidak terjerat duri yang merusak toleransi. Sudah
sepantasnyalah kita selektif terhadap pemberitaan media massa. Masyarkat yang
melek media tidak begitu saja ikut setuju dengan opini publik yang terangkai
dalam media social yang kita tahu semua itu dirancang untuk kepentingan
tertentu. Semoga kita termasuk orang-orang cerdas yang tidak mau begitu saja mengikuti
opini media sosial. Wallahualaam.