Mengapa Saat Pusing Seolah Melihat Bintang?

Setiap orang saat sedang pusing, migrain, atau setelah bersin, kalau memejamkan mata seolah melihat cahaya berkedip-kedip seperti bintang. Mengapa hal itu terjadi?

Hal ini disebabkan oleh stimulasi bagian belakang mata, atau saraf optik, yang mengirim kilatan cahaya ke otak. Di dalam bola mata terdapat gel tebal, yang berfungsi membuat bentuk bola mata menjadi bulat. Gel ini bila bergesekan dengan retina akan merangsang dan menciptakan gambar dalam otak.


Ketika otak mendapat pesan dari retina, akan ditafsirkan sebagai cahaya. Jadi, ada atau tidak cahaya yang masuk ke mata, tetap diterjemahkan sebagai cahaya. Percobaan paling mudah, cobalah memejamkan mata lalu menekan kelopal mata kamu dengan tangan. Dalam gelapnya pandangan, pasti seolah melihat pendaran-pendaran cahaya seperti jutaan bintang di langit.

Pada saat seseorang bersin, hal ini akan menekan bola mata itu sendiri, atau dari stimulasi saraf yang berhubungan dengan penglihatan. Setiap seseorang bersin, bisa menyemburkan udara, air, dan mikroba ke udara hingga 100 mil per jam. Kondisi ini membuat retina bergesekan kuat dengan bola mata dan menimbulkan visi cahaya.

Demikian juga bila kita terlalu lama jongkok, atau bangun tiba-tiba saat tidur bisa menyebabkan tekanan darah drop, dan otak kekurangan oksigen. Perubahan kondisi ini mempengaruhi mata dan saraf optik.

Ada juga kondisi yang disebut floaters, yakni gangguan pada gel di bola mata. Floaters hanya terjadi karena penyakit tertentu, serta dipengaruhi oleh bertambahnya usia seseorang. Migrain serta gangguan penyakit kepala lainnya memungkinkan terjadi floaters. Akibatnya, semakin mudah mengalami visi cahaya karena penyakit yang diderita. Orang-orang yang berumur lanjut gel pada bola matanya semakin cair, ini juga jadi penyebab floaters. Tak heran, semakin tua kita akan semakin cepat mengalami masalah pada penglihatan. (Irrul)

Related Posts:

Seni Lesung


Seni Lesung adalah satu seni tradisional kuno yang hidup dan berkembang di pedesaan dan banyak dimainkan oleh para petani. Di tengah arus deras modernisasi ini mulai pudar dimakan zaman, untuk mempertahankan eksistensi seni khas masyarakat agraris ini, Pemerintah Kota Pasuruan setiap tahunnya selalu mengagendakan perlombaan seni lesung antar kelurahan.

MENARI. Salah satu adegan yang menarik, banyak orang untuk menyaksikannya seni kotekan lesung ini adalah para pemukulnya yang juga melakukan gerak tari. Karena memang bukanlah penari profesional, adegan tari yang mereka sajikan justru terlihat lucu dan sering mengundang gelak tawa para penontonnya. Belum lagi tata rias wajahnya yang ala kadarnya, juga memunculkan kesan lucu. Pertunjukan ini bila dikelola dengan baik dan digabungkan dengan unsur entertainnya dapat menjadi salah satu pertunjukan wisata yang cukup potensial.
Lucu dan menghibur, begitulah kesan kuat yang terlihat di atas panggung saat para pegiat seni pukul lesung ini menampilkan atraksinya. Kelucuan dari para pegiat seni lesung ini nampak dari cara mereka berdandan yang terkesan ala kadarnya, sehingga bukannya terlihat tambah cantik justru pupuran bedak adem (bedak yang terbuat dari beras dan serai) yang tidak merata ‘mengubah’ wajah mereka seperti buah kesemek. Itulah yang terlihat pada sosok Maimunah (70).
Kelucuan yang menghibur juga terlihat dari gerak tangan dan badan mereka yang tidak ‘neko-neko’ mengikuti alunan kotekan lesu yang ditabuh bertalu-talu. Mungkin karena mereka bukan penari profesional, maka gerakan tari mereka itu justru mengundang tawa penonton yang tengah menyaksikan pertunjukan seni lesung yang digelar Dinas Pemuda, Olahraga dan Kebudayaan Kota Pasuruan. Hampir semua peserta lomba yang sebagian besar ibu-ibu lebih banyak yang memakai busana adat kebaya dan kain batik untuk menunjukkan orisionalitas kesenian kotekan lesung. Bahkan dari 34 kelompok peserta ada juga yang menggunakan alas kaki klompen (sandal kayu).
Kotekan lesung bisa disebut sebagai tradisi masyarakat agraris. Kotekan lesung tak dapat dipisahkan dengan kegiatan para petani menumbuk padi. Kotekan lesung pada awalnya merupakan kegiatan santai sekadar untuk bersenandung di saat-saat jeda menumbuk padi. Kreativitas tersebut terus berkembang bukan sekadar untuk mengusir kejenuhan dan keletihan, tapi terus berkembang menjadi simbol kegiatan sosial masyarakat agraris.
Sehingga alunan senandung kotekan lesung pada saat dulu juga bisa disebut sebagai irama musik prewedding di setiap keluarga petani di pedesaan. Karena alunan kotekan lesung biasanya akan terus berkumandang beberapa hari menjelang pesta hajatan pernikahan di sebuah keluarga di pedesaan. Di tengah masyarakat yang masih kental kerukunan sosialnya, setiap anggota masyarakat akan saling membantu menumbuk padi atau membuat aneka tepung secara sukarela. Nah di saat-saat jeda menumbuk padi atau membuat tepung tersebut, kotekan lesung secara spontan akan terdengar mengalun.
Namun seiring perkembangan zaman, lesung yang digunakan menumbuk padi tergeser fungsinya dengan mesin penggilingan padi baik yang statis maupun yang mobile atau yang biasa disebut “grandong”. Sehingga kumandang alunan kotekan lesung juga semakin hilang tertutup derunya mesin penggilingan padi. Lomba kotekan lesung yang secara rutin digelar saat memperingati hari jadi Kota Pasuruan ini, selalu meninggalkan kesan yang berbeda bagi setiap generasi. Bagi generasi tua, lomba kotekan lesung seolah membuka lembaran nostalgia, sementara bagi generasi muda lomba kotekan lesung merupakan kegiatan yang terasa aneh tapi diakuinya mengasyikkan.
Maimunah (70), salah seorang pemain kotekan lesung dari Kelurahan Tembokrejo Kecamatan Purworejo meski posturnya tubuhnya sudah terlihat renta tetap terlihat ceria selama memainkan alu memukullesung mengikuti irama. Wanita yang kini telah memasuki usia lanjut mengaku keterampilannya memainkan kotekan lesung dikarenakan saat masih mudanya dulu sering menjadi tukang tumbuk padi. Namun ia mengaku tidak pernah menyangka kalau keterampilannya tersebut yang kemudian mengantarkan dirinya naik ke panggung pertunjukan.
Sebaliknya Tyas (20), salah seoarang pemain kotekan lesung generasi muda dari Kelurahan Sebani, Kecamatan Gadingrejo mengaku belajar kotekan lesung tidak ada kaitannya dengan kegiatan menumbuk padi. Ia belajar kotekan lesung karena untuk persiapan lomba, bukan karena keterampilannnya menumbuk padi. Memang Tyas maupun generasi muda lainnya mengenal sebuah lesung bukan lagi sebagai alat tumbuk padi, tapi telah bergeser funsgi sebagai alat musik tradisional. Karena dengan maraknya mesin penggilingan padi, generasi muda kini nyaris tidak mengenallagi fungsi lesung. Jangankan mengenal fungsi lesung yang sesungguhnya, melihat proses penggilingan gabah menjadi beras pun telah menjadi sesuatu yang sulit ditemukan bagi banyak generasi muda di perkotaan.
Seni tradisional kotekan lesung di Kota Pasuruan boleh dikatakan tidak sepenuhnya mati. Ibarat pepatah hidup segan matipun tak mau. Di beberapa kelurahan, meski frekuensinya tidak terlalu sering masih ada anggota masyarakat yang berlatih memainkan kotekan lesung, terutama mendekati bulan Februari dimana secara rutin Pemerintah Kota Pasuruan menggelar lomba kotekan lesung antar kelurahan. Ketidakmampuan pihak kelurahan menggerakkan warganya untuk berlatih seni kotekan lesung ini tidak lain karena minimnya anggaran yang ada. Meskipun demikian, dari tahun ke tahun, kelurahan tidak pernah kesulitan melakukan alih generasi seniman kotekan lesung.

Related Posts:

Apakah Raksasa Benar-benar Ada?






Mungkinkah dulu benar ada raksasa? Kisah soal raksasa selalu hidup dalam folklor di seluas bumi. Wujudnya bukan sekadar setinggi pemain basket NBA, tapi lebih besar dari itu. Bisa mencapai 3 meter lebih.

Selain termuat dalam legenda, Kitab-kitab suci agama samawi seperti Alkitab (Holy Bible) dan Al Quran memuat kisah tentang raksasa. Yang menjadi masalah, adakah bukti arkeolog yang menunjang kebenaran kisah tersebut?

Sebelumnya, kita lihat beberapa uraian legenda sesuai mitos yang berkembang serta termuat dalam kitab suci.

Raja Og, Antara Mitos Raksasa Dan Kenyataan
Beberapa Alkitab (termasuk kitab Apokrif) menyebutkan tentang Nefilim yang digambarkan sebagai Raksasa. Kitab Henokh menyebutkan ukuran mereka sangat mengerikan. 

Suku Nefilim yang tercatat dalam Alkitab antara lain Refaim (Rephiam, yang paling dikenal), Anakin, AVIM, Emim, Gibborim, Horim, Zamzummim dan Zuzim. Mereka dipimpin oleh Raja Og dari Basan yang juga berasal dari Refaim. 

Menurut cerita rakyat, Raja Og memiliki tempat tidur yang sangat besar terbuat dari kerangka besi, mungkin panjangnya berkisar 14 kaki dan lebarnya 6 kaki. 

Salah satu contoh sosok raksasa adalah Goliath. Sesuai kisah Taurat (Perjanjian Lama), Daud yang berhasil membunuh Goliath menghantarnya menjadi raja di Israel. 

Dan setelah Raja Daud tidak ada pernyataan yang menyebutkan tentang Nephilim di Tanah Suci. Kemudian Raja Og merupakan Refaim terakhir, tapi menurut Alkitab dia bukan Nephilim, hanya merupakan garis keturunannya.

Cerita rakyat tentang manusia raksasa tercatat setelah tahun 900 SM. Nabi Musa dikatakan sebagai manusia yang membunuh raksasa Raja Og, dan meninggal pada usia 120 tahun atau disekitar tahun 1300-1400 SM yang mendahului Zaman Besi diwilayah Levant.


Related Posts: